KATA PENGANTAR
Puji syukur saya
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya
kepada kelompok kami sehingga mampu menyelesaikan tugas makalah Hukum Pidana
Khusus ini.
Makalah ini berisikan tentang
penjelasan bagaimana Tindak Pidana Ekonomi yaitu Tindak Pidana Kepabeanan. Saya
sampaikan terima kasih kepada semua orang yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Besar harapan makalah ini dapat menjadi
tambahan sumber bacaan bagi teman-teman. Makalah ini disusun menggunakan bahasa
yang mudah dipahami. Tak luput dari itu, makalah ini tak terhindar dari
kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran sangat diharapkan untuk
perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.
Akhir kata,mohon maaf atas segala
kekurangan dalam penulisan tak terhindar dari kesalahan. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin.
Pekanbaru, 18 Maret
17
Penyusun
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hukum pidana materil tidak saja hanya
sebatas apa yang dibahas dalam KUHP saja tetapi juga tindakan-tindakan diluar
KUHP yang di anggap sebagai suatu kejahatan (delict) tetap akan di anggap
sebagai tindak pidana dengan cara mengkriminalisasikan tindakan tersebut dan
melahirkan suatu peraturan yang mampu mengikat tindakan tersebut.
Tindak pidana yang diatur dalam KUHP
sering disebut dengan istilah Pidana Biasa, sedangkan tindak pidana yang diatur
oleh peraturan perundang-undangan di luar KUHP sering juga diistilahkan sebagai
Pidana Khusus. Pidana Khusus yang diatur didalam berbagai peraturan
perundang-undangan ini merupakan hasil dari kriminalisasi
berbagai tindakan atau perbuatan yang dianggap bertentangan dengan norma
hukum dan dipandang mampu merugikan pihak lain (yang bersifat publik). Pidana
khusus ini hadir dalam rangka mengatasi ketertinggalan hukum materil yang terus
digerus perkembangan zaman. Tindak pidana yang terus berkembang mengikuti
perkembangan zaman membuat setiap peraturan yang telah dikodifikasi seperti
KUHP cepat usang dan tidak mempu mengatasi berbagai permasalahan pidana baru
yang lahir sehingga sering terjadi kekosongan hukum.
Salah satu tindak pidana baru yang
tergolong kedalam Pidana Khusus adalah Tindak Pidana Kepabeanan, yaitu tindak
pidana yang secara umum dilakukan oleh suatu subjek hukum baik itu person maupun rech person terhadap kegiatan keluar-masuknya (ekspor-impor) barang atau uang ke dan dari Indonesia.
Seperti
yang di kemukakan oleh Aristoteles dalam teorinya Zoon Politicon “bahwa manusia itu adalah mahkluk sosial yang
membutuhkan manusia lain untuk memenuhi setiap kebutuhannya” karna manusia
tidak akan mungkin mampu untuk melakukan semua kegiatan demi memenuhi
kebutuhannya yang beragam. Begitu pula sebuah negara, negara yang merupak supra
organisasi atau badan hukum tertinggi dalam suatu bangsa tidak akan mampu
memenuhi segala kebutuhannya, sehingga satu negara akan membutuhkan negara lain
demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan cara melakukan suatu
perjanjian antar negara dalam berbagai bidang. Sehingga beberapa negara dapat
saling bertukar kebutuhan satu sama lain.
Dalam
hal pengawasan kegiatan keluar-masuknya barang, jasa atau uang ke dan dari
indonesia maka Pabeanan atau cukai ini sangat berperan. Mengawasi
apakah kegiatan ekspor-impor yang dilakukan tidak bertentangan dengan hukum,
barang-barang yang menjadi objek ekspor-impor bukanlah barang-barang yang
dilarang oleh hukum, dan sebagainya.
Sektor Pabeanan memang berpotensi besar terjadinya tindak pelanggaran atau
kejahatan yang dapat menimbulkan kerugian terhadap negara maupun swasta.
Berbagai motif tindakan banyak dilakukan di sektor ini, baik untuk menguntung
suatu pihak maupun bermotif untuk menghancurkan suatu bangsa. Contohnya adalah
tindakan penyeludupan narkoba ke suatu negara, dalam satu sisi dapat kita lihat
bahwa pelaku memiliki motif ekonomi untuk menguntungkan suatu pihak secara
finansial, namun disisi lain juga bisa kita tafsirkan bahwa pelaku memiliki
misi untuk menghancurkan suatu bangsa dengan cara meracuni bangsa tersebut dengan
narkoba.
Setiap negara memiliki tugas dan fungsi
untuk melindungi setiap warga negaranya. Maka dari sektor kepabenan ini lah
negara dapat merealisasikan fungsi tersebut. Negara dengan segala kewenangan
yang dimilikinya diharapkan mampu melaksanan tugas dan fungsi tersebut. Makalah
ini akan membahas mengenai bagaimana peran negara atau pemerintah disektor
kepabeanan dalam bidang hukum atau regulasi, bagaimana negara mengintervensi
dalam bidang kepabeanan sehingga sektor ini dapat berjalan sebagaimana
mestinya.
B. Rumusan
Masalah
Dari pemaparan latar belakang diatas
maka penulis menarik beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah
ini, antara lain sebagai berikut :
1. Apa
yang dimaksud dengan Tindak Pidana Kepabeanan dan istilah lain tindak pidana
kepabeanan?
2. Apa
latar belakang yang mendorong oknum-oknum tertentu melakukan tindak pidana
kepabeanan?
3. Apa
saja bentuk-bentuk tindak pidana kepabeanan?
4.
Bagaimana Ketentuan
Hukum Acara Pidana Kepabeanan?
C. Tujuan
Makalah
Tujuan
dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui dan memahami apa itu Tindak Pidana Kepabeanan serta peristilahan
yang dipakai.
2. Untuk
mengetahui latar belakang yang oknum-oknum tertentu melakukan tindak pidana
kepabeanan.
3. Untuk
memahami bentuk-bentuk tindak pidana kepabeanan.
4. Untuk
mempelajari bagaimana ketentuan Hukum Acara Pidana Kepabeanan.
BAB
II PEMBAHASAN
A. Defenisi
Tindak Pidana Kepabeanan
Sebelum
kita membahas lebih lanjut masalah Tindak Pidana Kepabenan sebaiknya kita
pahami dulu apa yang dimaksud dengan kepabenanan. Menurut Undang-undang Nomor
17 tahun 2006 tentang perubahan
Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tetang Kepabeanan dalam pasal 1 ayat 1
disebutkan bahwa “ Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta
pemungutan bea masuk dan bea keluar”.[1]
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) defenisi Pabeanan didefenisikan sebagai instansi (jawatan, kantor) yang mengawasi,
memungut, dan mengurus bea masuk (impor) dan bea keluar (ekspor), baik melalui
darat, laut, maupun melalui udara.[2]
Tindak
pidana kepabeanan tergolong ke dalam salah satu tindak pidana ekonomi yang
dapat mengganggu bahkan merugikan pendapatan negara. Tindak pidana yang satu
ini lahir akibat perkembangan kejahatan terhadap perekonomian dan juga di
dukung oleh kemajuan teknologi dari masa ke masa. Selain menggunakan istilah
“tindak pidana kepabeanan” dalam beberapa literatur kita juga dapat menemukan
penggunaan istilah lain seperti “tindak pidana penyeludupan” yang sama-sama
merujuk kepada satu pokok pembahasan dan juga memiliki arti yang secara umum
sama. Perbedaan diantara kedua istilah tersebut menurut penulis adalah bahwa
istilah tindak pidana penyeludupan menunjukkan setiap perbuatan yang
bertentangan dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang Nomor 10 tahun 1995
tetang Kepabeanan khususnya Pasal 102, 102 A- 102 D, sedangkan istilah tindak
pidana kepabeanan itu sendiri menunjukkan setiap perbuatan pidana yang diatur
dalam undang-undang kepabeanan termasuk juga didalamnya penyeludupan, yang pada
dasarnya memiliki inti pembahasan yang sama, hanya saja ruang lingkupnya yang
berbeda. Selain kedua istilah tersebut dalam literatur lain ada yang
menggunakan istilah pelanggaran terhadap Rechten Ordonantie Stb.1882 No.240.
Istilah ini muncul karena sebelum adanya UU tentang kepabeanan, Rechten
Ordonantie Stb.1882 No.240 ini lah yang menjadi pedoman dan hukum yang mengatur
masalah kepabeanan di masa itu.
Istilah
penyeludupan secara formal dalam perundang-undangan dipakai dalam Keputusan
Presiden No.73 tahun 1967 yang merupakan delik yang berhubungan dengan
pengeluaran barang atau uang dari Indonesia ke luar negeri (ekspor) atau
pemasukan barang atau uang ke Indonesia (impor).[3]
Menurut Baharuddin Lopa, pengertian tentang
penyelundupan (smuggling atau Smokkle) adalah: “Mengimpor,
mengantar pulaukan barang dengan tidak memenuhi peraturan perundang-undangan
yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean (douaneformaliteiten) yang
ditetapkan oleh Peraturan Perundang-undangan.[4]
Defenisi yang lebih lengkap dan mendetail mengenai
penyeludupan diuraikan dalam Encyclopedya
Americana, bahwa smuggling is the
practice of violating the revenue laws of country by importing or exporting
goods upon which duty is pay able, with intent to avoid payment of that duty.
Smuggling includes the importation of articles taht are prohibited from being
brought in to the contry or district.[5] Bahwa dikatakan sebagai
penyeludupan jika melakukan perbuatan yang melanggar peraturan
perundang-undangan Negara dengan cara mengimpor, mengeskpor barang-barang yang
dikenakan pajak “(bea), dengan menghindari diri dari pembayaran pajak (bea)
tersebut. Termasuk juga penyeludupan jika mengimpor barang-barang yang dilarang
dimasukan dalam suatu daerah atau Negara.
Dengan demikian seseorang bisa disebut melakukan
penyeludupan jika memenuhi beberapa unsur. Pertama,
membawa masuk (mengimpor) barang dari luar negeri ke dalam wilayah
Indonesia. Kedua, mengeluarkan
(mengekspor) barang ke luar daerah atau keluar Negara Indonesia. Ketiga, barang yang diimpor atau
diekspor tersebut tidak memiliki dokumen yang sah atau memiliki dokumen
namuntidak sesuai dengan jumlah atau jenis barang yang tertera dalam surat-surat
administratif. Keempat, perbuatan
mengekspor dan mengimpor tersebut melanggar wilayah pabean Indonesia. Kelima, perbuatan tersebut menimbulkan
kerugian berupa berkurangnya pendapatan Negara di bidang kepabeanan.
Sedangkan Elizabeth A Martin memberikan pengertian
penyeludupan (smuggling) sebagi : The offence of importing or exporting
specified goods that are subject to customs or excise duties without having
paid the requisite duties. Smuggled good are liable to confiscation and
smugglew is liable to pay treble their value or a sum laid down by the law
(whichever is greater); offender may alternatively, or additionally, receive a
term of imprisonment”.[6]
Istilah penyeludupan sebenarnya memiliki dasar hukum
yang kuat, karena secara tegas dalam pasal 102 Undang-undang No. 17 tahun 2006
tentang Pabeanan menggunakan istilah penyeludupan, dalam penjelasan pasal ini
penyeludupan didefenisikan sebagai “mengimpor
atau mencoba untuk mengimpor atau mengekspor barang tanpa mengindahkan
ketentuan undang-undang ini.”
Ruang lingkup penyeludupan sebenarnya tidak hanya
sebatas dalam kegiatan ekspor dan impor antar negara saja, namun juga termasuk
kegiatan keluar dan masuknya barang antar pulau yang dalam artian melanggar
ketentuan-ketentuan seperti yang telah ditegaskan dalam Undang-undang
kepabeanan.
B.
Latar belakang terjadinya tindak pidana
kepabeanan
Banyak faktor pendorong yang dapat menjadi latar
belakang oknum-oknum tertentu melakukan tindak pidana kepabeanan. Faktor-faktor
seperti faktor geografis indonesia yang sangat strategis dalam perdagangan
internasional. Letak geografis Indonesia yang diapit oleh dua benua dan dua
samudera sehingga jalur transportasi perdagangan internasional menjadi lancar. faktor
sosial bahwa kebiasaan masyarakat Indonesia yang konsumtif dan memiliki
kecenderungan untuk memiliki barang tertentu dengan merek tertentu, faktor perekonomian
Indonesia yang masih belum stabil, faktor
lemahnya moral para pejabat yang bertanggung jawab dalam bidang bea dan cukai
(pabeanan), dan lain sebagainya yang mendorong tingginya aktifitas di bidang
kepabeanan. Dengan tingginya aktifitas dibidang ini dan menyangkut masalah
perekonomian maka lalu-lintas keuangan juga deras disini yang membuat
oknum-oknum tertentu silap mata.
C.
Bentuk-bentuk Tindak Pidana Kepabanan
Bentuk dan jenis tindak pidana kepabeanan jika kita perhatikan
dalam Undang-undang No. 17 tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang No. 10
tahun 1995 tentang Kepabeanan ada dua bentuk atau jenis Tindak Pidana
kepabeanan. Pertama, perbuatan pidana
atau Tindak Pidana Kepabeanan yang diatur dalam Pasal 102 dan Pasal 102A yaitu
yang menyangkut masalah penyeludupan dalam kegiatan eksor-impor. Kedua, perbuatan pidana atau Tindak
Pidana lain yang terkait dengan Tindak Pidana Kepabeanan yang diatur dalam
Pasal 103, Pasal 103A, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 107, dan Pasal 108.[7]
Jika kita baca lebih cermat UU No. 17 tahun 2006
tentang Kepabeanan maka intinya adalah Pasal 102 mengatur tentang Tindak Pidana
Kepabeanan yang berhubungan dengan kegiatan ekspor, dan Pasal 102A mengatur
masalah Tindak Pidana Kepabeanan di bidang impor. Dan Pasal-pasal selanjutnya
hanya membahas masalah tindak pidana yang terkait dan mempunyai hubungan dengan
tindak pidana kepabeanan.
Berikut rincian Pasal 102 yang menyangkut masalah
tindak pidana kepabeanan di bidang ekspor :
Setiap orang yang :
a. Mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifes
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (2);[8]
b. Membongkar barang impor di luar kawasan pabean atau tempat lain tanpa izin
kepala kantor pabean;
c. Membongkar barang impor yang tidak tercantum dalam pemberitahuan
pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (3);
d. Membongkar atau menimbun barang impor yang masih dalam pengawasan
pabean di tempat selain tempat tujuan yang ditentukan dan/atau diizinkan;
e. Menyembunyikan barang impor secara melawan hukum;
f.
Mengeluarkan barang impor yang
belum diselesaikan kewajiban pabeannya dari kawasan pabean atau dari tempat
penimbunan berikat atau dari tempat lain di bawah pengawasan pabean tanpa
persetujuan pejabat bea dan cukai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan
Undang-Undang ini;
g. Mengangkut barang impor dari tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan
berikat yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan
bahwa hal tersebut di luar kemampuannya; atau
h. Dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang impor dalam pemberitahuan
pabean secara salah, dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang impor
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Bunyi pasal 102A yang menyangkut masalah tindak pidana
kepabeanan di bidang impor secara rinci berbunyi :
Setiap orang
yang:
a.
Mengekspor barang tanpa
menyerahkan pemberitahuan pabean;
b.
Dengan sengaja memberitahukan
jenis dan/atau jumlah barang ekspor dalam pemberitahuan pabean secara salah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11A ayat (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara di bidang ekspor;
c.
Memuat barang ekspor di luar
kawasan pabean tanpa izin kepala kantor pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (3);
d.
Membongkar barang ekspor di dalam
daerah pabean tanpa izin kepala kantor pabean; atau
e. Mengangkut barang ekspor tanpa dilindungi dengan dokumen yang sah sesuai dengan
pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9A ayat (1) dipidana karena melakukan
penyelundupan di bidang ekspor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
Rumusan sanksi pidana penyelundupan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 102, Pasal 102 A, dan Pasal 102 B Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2006 tersebut di atas pada dasarnya menerapkan sanksi pidana berupa pidana
penjara dan pidana denda yang merupakan sanksi pidana yang bersifat kumulatif
(gabungan), dengan mengutamakan penerapan sanksi pidana penjara terlebih dahulu
dan kemudian diikuti dengan sanksi pidana denda secara kumulatif. Formulasi
penerapan sanksi pidana seperti ini menunjukkan bahwa pelaku tindak pidana
penyelundupan dikenakan sanksi pidana ganda yang cukup berat, yaitu diterapkan sanksi
pidana penjara di satu sisi dan sekaligus juga dikenakan saksi pidana denda.
Namun jika sanksi denda tidak dapat dibayar dengan subsider Pasal 30 KUHP maka
sangat merugikan negara.
Secara
umum ada 2 cara dan modus yang dilakukan para pelaku (Dader) dalam melakukan tindak pidana kepabeanan, yakni :
a.
Penyeludupan Fisik
Perbuatan ini biasanya bertujuan untuk menghindari dari
kewajiban untuk, membayar bea/biaya
masuk atau keluarnya suatu barang di wilayah kepabeanan Indonesia. Akibat tidak
membayar kewajiban bea tersebut maka barang yang masuk atau keluar biasanya
tidak memiliki surat-surat atau dokumen administrasi dari instansi terkait.
Sehingga biasanya praktek-praktek penyeludupan ini dilakukan secara
sembunyi-sembunyi melalui daerah-daerah yang dianggap tingkat pengawasan yang
lemah.
b.
Penyeludupan Administratif
Perbuatan ini dilakukan ini dilakukan oleh pelaku
penyeludup dengan cara memiliki dokumen atau surat-surat kepabeanan, tetapi
sesungguhnya dokumen tersebut hanyalah manipulasi belaka yang tidak sesuai
dengan kenyataan pengeriman atau pemasukan barang tersebut. Misalnya dengan
cara memanipulasi faktur harga barang sehingga mempengaruhi biaya cukai, atau
memanipulasi Packing List, atau lain sebagainya.
D.
Ketentuan Hukum Acara Pidana Kepabeanan
Dalam
Undang-Undang No. 10 tahun 1995 ini juga telah mengatur ketentuan acara,
khsusnya tentang penyidik, kewenangan penyidikan dan penghentian penyidikan.
Ketentuan Penyidikan diatur dalam
pasal 112:
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tententu
di lingkungan Direktorat Bea dan Cukai diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
Ketentuan di atas menegaskan bahwa
penyidikan dalam tindak pidana kepabeanan dilakukan oleh penyidik khusus yakni
pegawai negeri sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Bean dan Cukai.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud ayat
(1) karena kewajibannya berwenang:
a. Menerima laporan atau keterangan dari
seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang Kepabeanan;
b. Memanggil orang untuk didengar dan
diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
c. Meneliti, mencari, dan mengumpulkan
keterangan dengan tindak pidana di bidang Kepabeanan;
d. Melakukan penangkapan dan penahanan
terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang Kepabeanan;
e. Meminta keterangan dan bukti dari
orang yang sangka melakukan tindak pidana di bidang Kepabeanan;
f.
Memotret
dan/atau merekam melalui media audiovisual terhadap orang, barang, sarana pengangkut,
atau apa saja yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana di bidang Kepabeanan;
g. Memeriksa catatan dan pembukuan yang
diwajibkan menurut Undang-undang ini dan pembukuan lainnya yang terkait;
h. Mengambil sidik jari orang;
i.
Menggeledah
rumah tinggal, pakaian, atau badan;
j.
Menggeledah tempat atau sarana pengangkut
dan memeriksa barang yang terdapat di dalamnyamapabila dicurigai adanya tindak
pidana di bidang Kepabeanan;
k.
Menyita
benda-benda yang diduga keras merupakan barang yang dapat dijadikan sebagai
bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang Kepabeanan;
l.
Memberikan tanda pengaman dan
mengamankan apa saja yang dapat dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan
tindak pidana di bidang Kepabeanan;
m. Mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara tindak pidana di bidang Kepabeanan;
n. Menyuruh berhenti orang yang disangka melakukan tindak pidana di
bidang Kepabeanan serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
o. Menghentikan penyidikan;
p. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan
tindak pidana di bidang Kepabeanan menurut hukum yang bertanggung jawab. (Pasal
112 ayat (1) dan (2) UU 10/1995)
Menurut pasal
108 ayat (3) kordinasi penyidikan dilakukan dengan kejaksaan. Ketentuan ini
menyatakan bahwa:
Penyidik sebagimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang hukum Acara
Pidana.
Kewenangan penyidikan
diatur dalam pasal 108 ayat (2). Dalam tententuan tersebut terdapat sebanyak 16
kewenangan penyidik dalam tindak pidana kepabeanan ini. Kewenanagn ini lebih
banyak dari kewenangan penyidik seperti yang diaitur dalam KUHAP.
Namun seperti juga
kewenangan penyidik dalam berbagai perundangan khusus lainnya tidak diatur
kewenanangan penangkapan dan penahanan. Pada hal sebagian tindak pidanannya
diancam dengan pidana penjara lebih dari lima tahun, yang oleh KUHAP
dimungkinkan dilakukan penahahan. Salah satu kewenangan penyidik dalam tindak
pidana kepabeanan ini adalah menghentikan penyidikan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 112 butir “O”. Namun ketentuan tentang penyidikan juga ditur dalam
pasal 113 yang menyatakan: untuk
kepentingan penerimaan negara, atas permintaan menteri, Jaksa Agung dapat
menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang Kepabeanan.
DAFTAR
PUSTAKA
UU No. 17 tahun 2006
tetang perubahan UU No. 10 tentang Kepabeanan
KBBI (kamus besar bahasa
indonesia).
Andi hamzah, 1991, tindak pidana ekonomi, Sinar Grafika,
jakarta.
Baharudin Lopa.Tindak Pidana Ekonomi,Penerbit
PT. Pratnya Paramita. Jakarta, 2002.
Encyclopedia Americana, 1987, International
Edition, New York
Elizabeth A Martin and Jonathan Oxford
Dictionary Law, (Six Edition, Oxford University Press., New York; 2006
[1] UU No.
17 tahun 2006 tetang perubahan UU No. 10 tentang Kepabeanan
[2] KBBI
(kamus besar bahasa indonesia).
[3] Andi
hamzah, 1991, tindak pidana ekonomi,
Sinar Grafika, jakarta, hlm. 81
[5] Encyclopedia Americana, 1987, International Edition, New York, hlm.
129
[6] Elizabeth A Martin and Jonathan Oxford
Dictionary Law, (Six Edition, Oxford University Press., New York;
2006), page. 500
[7] Baca undang-undang nomor 17 tahun 2006 tentang
Kepabeanan.