Sejak pemerintah penjajah Belanda
menguasai Indoneisa, mereka mengetahui dengan baik pengaruh surat kabar
terhadap masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, mereka memandang perlu membuat undang-undang
khusus untuk membendung pengaruh pers Indonesia karena merupakan momok yang
harus diperangi.
Saruhum, dalam tulisannya yang berjudul “Perjuangan
Surat Kabar Indonesia” yang dimuar dalam sekilas “Perjuangan Surat Kabar”,
menyatakan: “Maka untuk membatasi pengaruh momok ini \, pemerintah Hindia
Belanda memandang tidak cukup mengancamnya saja dengan kitab Undang-Undang
Hukum Pidana. Setelah ternyata dengan KUHAP itu saja tidak mempan, maka
diadakan pula artikel-artikel tambahan seperti artikel 153 bis dan ter. 161 bis
dan ter. dan artikel 154 KUHP. Hal itupun belum dianggap cukup, sehingga
diadakan pula Persbreidel Ordonantie, yang memberikan hak kepada
pemerintah penjajah Belanda untuk menghentikan penerbitan surat kabar/majalah
Indonesia yang dianggap berbahaya”.
Tindakan lain disamping persbeidel
Ordonantie adalah Haatzai Artikelen, karena pasal-pasalnya mengancam
hukuman terhadap siapa pun yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian,
serta penghinaan terhadap pemerintah Nederland dan Hindia Belanda (pasal 156
dan 155) dan terhadap sesuatu atau sejumlah kelompok penduduk di Hindia (pasal
154 dan 155). Akibatnya, banyak korban berjatuhan, antara lain S.K. Trimurti
sampai melahirkan di penjara, bahkan ada yang sampai dibuang ke Boven Digul.
Demikian juga zaman penduduk Jepang
yang totaliter dan fasistis, orang-orang surat kabar (pers) Indonesia banyak
yang berjuang tidak dengan ketajaman penanya (tulisan), melainkan menempuh cara
dan jalan lain (misalnya melalui organisasi keagamaan, pendidikan, politik, dan
sebagainya). Hal ini menggambarkan bahwa kehidupan pers ketika itu sangat
tertekan.
Surat kabar sebagai senjata untuk
menyebarkan cita-cita sudah dikenal di dalam sejarah dunia. Julian Caesar sebagai
pendiri kemaharajaan Romawi pada abad sebelum masehi, sudah mengetahui betapa
pentingnya surat kabar sebagai senjata yang tajam, sehingga ia menganjurkan
untuk menerbitkan surat kabar Acta Diurna.
PERS ERA REFORMASI
KEBEBASAN PERS di ERA REFORMASI
Perjalanan demokrasi di
Indonesia masih dalam proses untuk mencapai suatu kesempurnan. Wajar apabila
dalam pelaksaannya masih terdapat ketimpangan untuk kepentingan penguasa
semata. Penguasa hanya mementingkan kekuasaan semata, tanpa memikirkan
kebebasan rakyat untuk menentukan sikapnya . Sebenarnya demokrasi sudah muncul
pada zaman pemerintahan presiden Soekarno yang dinamakan model Demokrasi
Terpimpin, lalu berikutnya di zaman pemerintahan Soeharto model demokrasi yang
dijalankan adalah model Demokrasi Pancasila. Namun, alih-alih mempunyai suatu pemerintahan
yang demokratis, model demokrasi yang ditawarkan di dua rezim awal pemerintahan
Indonesia tersebut malah memunculkan pemerintahan yang otoritarian, yang
membelenggu kebebasan politik warganya.
Begitu pula kebebasan
pers di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan masa
pemerintahan Presiden Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah.
Pers dipaksa untuk memuat setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan
pemerintah, di era pemerintahan
Soekarno dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk
memperkuat status quo,
ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan
bila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya)
pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk
menentukan corak dan arah isi pers
Bagi
Indonesia sendiri, pengekangan pemerintah terhadap pers di mulai tahun 1846,
yaitu ketika pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau
sensor atas penerbitan pers di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sejak itu pula,
pendapat tentang kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat izin
terbit, sensor, dan pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol
terhadap pers perlu dilakukan.
Sebagai contoh adanya pembatasan terhadap pers dengan
adanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sesuai dengan Permenpen 01/1984 Pasal 33h. Dengan
definisi ”pers yang bebas dan bertanggung jawab”, SIUPP merupakan lembaga yang
menerbitkan pers dan pembredelan.
Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum. Ini adalah contoh pers yang otoriter yang di kembangkan pada rezim orde baru.
Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum. Ini adalah contoh pers yang otoriter yang di kembangkan pada rezim orde baru.
Tak ada demokrasi tanpa kebebasan
berpendapat. Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar
dalam kehidupan bernegara. Sesuai Prinsip Hukum dan Demokrasi, bahwa
perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam menegakkan hukum perlu ada
keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat. Untuk itu, kebebasan pers,
hak wartawan dalam menjalankan fungsi mencari dan menyebarkan informasi harus
dipenuhi, dihormati, dan dilindungi. Hal ini sesuai dengan UUD 45 Pasal 28
tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat.
Suatu pencerahan datang kepada
kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Pada saat itu
rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik ekonomi, sosial,
budaya yang pada masa orde baru terbelenggu. Tumbuhnya pers pada masa reformasi
merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Kehadiran pers saat ini
dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara
penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral
dengan memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan
sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai
konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.
Peran inilah yang selama ini telah
dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia. Setidaknya, antusias responden
terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini publik yang berkaitan
dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan keberhasilan
tersebut.
Setelah reformasi bergulir tahun
1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan
kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan
elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik
penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia.
Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang
paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi
perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers
dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama
dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik.
Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar,
dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus
dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan
antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya
pemerintahan.
Sungguh
ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini, pers Indonesia
cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Di satu sisi,
kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat media massa
Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi lain, kebebasan
tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk
mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan fungsinya sebagai
instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya sekedar celah antara rakyat dengan
pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan pendidikan untuk masyarakat
agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral.
Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah
menjadi ”kebablasan pers”. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang
menyajikan berita politik dan hiburan (seks). Media-media tersebut cenderung
mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan.
Ada hal lain
yang harus diperhatikan oleh pers, yaitu dalam membuat informasi jangan
melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan lain, biarlah hal ini
berkembang sesuai dengan apa yang mereka yakini.
Sayangnya,
berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya liberalisasi
ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur
pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan Liberalisasi
ekonomi juga makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media
massa sangat kental dengan upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tidak
tercermin dalam tampilan media massa saat ini. Sebagai dampak dari
komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini, eksploitasi terhadap
semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk menonton atau membaca pun
menjadi sajian sehari-hari.
`Ide tentang kebebasan pers yang kemudian menjadi
sebuah akidah pelaku industri pers di Indonesia. Ada dua pandangan besar
mengenai kebebasan pers ini. Satu sisi, yaitu berlandaskan pada pandangan
naturalistik atau libertarian, dan pandangan teori tanggung jawab sosial.
Menurut pandangan libertarian, semenjak lahir manusia
memiliki hak-hak alamiah yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun,
termasuk oleh pemerintahan. Dengan asumsi seperti ini, teori libertarian
menganggap sensor sebagai kejahatan. Hal ini dilandaskan pada tiga argumen. Pertama, sensor melanggar
hak alamiah manusia untuk berekspresi secara bebas. Kedua, sensor memungkinkan tiran mengukuhkan
kekuasaannya dengan mengorbankan kepentingan orang banyak. Ketiga, sensor menghalangi
upaya pencarian kebenaran. Untuk menemukan kebenaran, manusia membutuhkan akses
terhadap informasi dan gagasan, bukan hanya yang disodorkan kepadanya.
Kebebasan pers sekarang yang dipimpin presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, negara dan bangsa kita
membutuhkan kebebasan pers yang bertanggung jawab (free and responsible press). Sebuah perpaduan
ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media massa (insan pers),
khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan, kekuatan serta
kekuasaan media massa (the
power of the press). Di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan
Wakil Presiden Jusuf Kalla, kebebasan pers Indonesia idealnya dibangun di atas
landasan kebersamaan kepentingan pengelola media, dan kepentingan target
pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan negara
(pemerintah), atau kepentingan rakyat.
Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap
aktualisasi kebebasan pers nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan
sepihak, baik kepentingan pengelola (sumber), maupun teratas pada pemenuhan
kepentingan sasaran (publik media).
Pers harus tanggap terhadap situasi publik, karena
ketidakberdayaan publik untuk mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin pers
harus berperan sebagai fasilitator untuk dapat mengapresiasikan apa yang
diinginkan publik terhadap pemimpinnya dapat terwujud.
Indonesia ialah Negara
penganut system pers demokrasi. Sebelum menganut system pers ini, Negara kita
mengalami beberapa revolusi dalam bidang pers. Tidak bisa dipungkiri pengaruh
pers di Negara kita sangat besar. Perkembangannya pun juga termasuk sangat
kompleks, dalam arti pers Indonesia terbagi menjadi beberapa periode dimana
satu periode mewakili satu era/masa dimulai dari pers di masa kolonial hingga
pers di era reformasi. Berikut ialah perkembangan Pers di Indonesia :
1. Pers di masa kolonial ( tahun
1744 sampai awal abad 19)
Pada masa kolonial pers
Indonesia diduduki oleh Pers Belanda. Pers Belanda menerbitkan surat kabar
berbahasa Belanda yang selanjutnya bangsa Indo raya dan Cina menerbitkan surat
kabar sendiri yang
berbahasa Belanda, Cina, dan bahasa daerah. Namun, diketahui tahun 1776 surat kabar pertama Indonesia telah dibredel oleh pemerintah Belanda. Sampai pada pertengahan abad 19, terdapat 30 surat kabar Belanda, dan 27 surat kabar bahasa Indonesia dan satu surat kabar berbahasa Jawa.
berbahasa Belanda, Cina, dan bahasa daerah. Namun, diketahui tahun 1776 surat kabar pertama Indonesia telah dibredel oleh pemerintah Belanda. Sampai pada pertengahan abad 19, terdapat 30 surat kabar Belanda, dan 27 surat kabar bahasa Indonesia dan satu surat kabar berbahasa Jawa.
2. Pers di masa pergerakan (1908 - 1942)
Ketika
awal berdirinya Boedi Oetomo, pers Indonesia bisa dibilang sebagai alat
perjuangan bagi rakyat indonesia. Pers di Indonesia berfungsi untuk perjuangan
dan alat penentu nasib (memperbaiki kedudukan dan nasib) anak bangsa.
Hingga akhir masa colonial , terdapat 33 surat kabar berbahasa Indonesia
(47.000 eksemplar) dan 27 surat kabar yang dibredel. Beberapa surat kabar
yang beredar saat itu ialah :
- Harian Sedio Tomo sebagai kelanjutan harian Budi Utomo terbit di Yogyakarta didirikan bulan Juni 1920.
- Harian Darmo Kondo terbit di Solo dipimpin Sudarya Cokrosisworo.
- Harian Utusan Hindia terbit di Surabaya dipimpin HOS Cokroaminoto.
- Harian Fadjar Asia terbit di Jakarta dipimpin Haji Agus Salim.
- Majalah mingguan Pikiran Rakyat terbit di Bandung dipimpin Ir. Soekarno.
- Majalah berkala Daulah Rakyat dipimpin Mocb. Hatta dan Sutan Syahrir.
3. Pers di masa Penjajahan Jepang
(1942 - 1945)
Pers
Indonesia pada pemerintah jepang mengalami perkembangan, dengan belajar tentang
kemampuan media massa dalam mobilisasi massa untuk tujuan tertentu berarti
telah memperluas wawasan rakyat Indonesia. Pada era ini pers Indonesia
mengalami kemajuan dalam hal teknis namun juga mulai diberlakukannya izin
penerbitan pers. Dalam masa ini surat kabar berbahasa
Belanda diberangus dan beberapa surat kabar baru diterbitkan meskipun dikontrol
ketat oleh Jepang. Selain itu Jepang juga mendirikan Jawa Shinbun Kai dan
cabang kantor berita Domei dengan menggabungkan dua kantor berita yang ada di
Indonesia yakni Aneta dan Antara.
Selama masa ini, terbit beberapa media (harian), yaitu:
Selama masa ini, terbit beberapa media (harian), yaitu:
- Asia Raya di Jakarta
- Sinar Baru di Semarang
- Suara Asia di Surabaya
- Tjahaya di Bandung
Pers
nasional masa pendudukan Jepang mengalami penderitaan dan pengekangan lebih
dari zaman Belanda. Namun begitu, hal ini justru memberikan banyak keuntungan
bagi pers Indonesia, diantaranay adalah Pengalaman karyawan pers Indonesia
bertambah. Adanya pengajaran bagi rakyat agar berpikir kritis terhadap berita
yang disajikan oleh sumber resmi Jepang, serta meluasnya penggunaan bahasa
Indonesia.
4. Pers di masa revolusi fisik (1945 - 1949)
4. Pers di masa revolusi fisik (1945 - 1949)
Periode
ini antara tahun 1945 sampai 1949 saat itu bangsa Indonesia berjuang
mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih tanggal 17 Agustus 1945. Belanda
ingin kembali menduduki sehingga terjadi perang mempertahankan kemerdekaan.
Saat itu pers terbagi menjadi dua golongan yaitu:
ü Pers
yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara Sekutu dan Belanda yang dinamakan
Pers Nica (Belanda).
ü Pers
yang terbit dan diusahakan oleh orang Indonesia atau disebut Pers Republik.
5. Era pers partisan
Era
ini berlangsung dari 1945-1957. Setelah terkena euphoria kemerdekaan terjadilah
persaingan keras antara kekuatan politik sehingga pers Indonesia mengalami
perubahan sifat dari pers perjuangan menjadi pers partisan. Pers pada era ini
sekedar menjadi corong partai politik.
Ada tiga jenis suratkabar dalam era ini yakni, surat kabar republikein yang mengobarkan aksi kemerdekaan dan semangat anti Jepang, surat kabar belanda, dan surat kabar Cina.
Ada tiga jenis suratkabar dalam era ini yakni, surat kabar republikein yang mengobarkan aksi kemerdekaan dan semangat anti Jepang, surat kabar belanda, dan surat kabar Cina.
6. Pers dimasa Orde Lama atau Pers Terpimpin (1957 -
1965)
Lebih
kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945,
tindakan tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor
berita PIA dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po
dilakukan oleh penguasa perang Jakarta. Hal ini tercermin dari pidato Menteri
Muda Penerangan Maladi dalam menyambut HUT Proklamasi Kemerdckaan RI ke-14,
antara lain: “Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh
bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat,
dan memperoleh penghasilan sebagaimana dijamin UUD 1945 harus ada batasnya:
keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta
tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”. Masih tahun 1960 penguasa perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers.
Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar perubahan sumber wewenang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.
Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”. Masih tahun 1960 penguasa perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers.
Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar perubahan sumber wewenang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.
7. Pers di era demokrasi Pancasila dan Orde lama
Awal
masa kepemimpinan pemerintahan Orde Baru bahwa akan membuang jauh-jauh praktik
demokrasi terpimpin dan mengganti demokrasi Pancasila. Pernyataan ini membuat
semua tokoh bangsa Indonesia menyambut dengan antusias sehingga lahirlah
istilah pers Pancasila.
Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang pers pancasila. Dalam rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), pers pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkab lakunya didasarkan nilai-nilai pancasila dan UUD’45 Hakikat pers pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.
Masa “bulan madu” antara pers dan pemerintah ketika dipermanis dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Pers (UUPP) Nomor II tahun 1966, yang dijamin tidak ada sensor dan pembredelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat ijin terbit. Kemesraan ini hanya berlangsung kurang lebih delapan tahun karena sejak terjadinya “Peristiwa Malari” (Peristiwa Lima Belas Januari 1974), kebebasan pers mengalami set-back (kembali seperti zaman Orde Lama).
Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang pers pancasila. Dalam rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), pers pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkab lakunya didasarkan nilai-nilai pancasila dan UUD’45 Hakikat pers pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.
Masa “bulan madu” antara pers dan pemerintah ketika dipermanis dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Pers (UUPP) Nomor II tahun 1966, yang dijamin tidak ada sensor dan pembredelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat ijin terbit. Kemesraan ini hanya berlangsung kurang lebih delapan tahun karena sejak terjadinya “Peristiwa Malari” (Peristiwa Lima Belas Januari 1974), kebebasan pers mengalami set-back (kembali seperti zaman Orde Lama).
8. Pers di masa Transisi (sebelum Reformasi)
Era
ini terjadi pada akhir tahun 1980 an dimana situasi politik mulai berubah.
Faktor yang melatarblekangi perubahan ini antara lain adalah kaenyataan bahwa
Soeharto akan mencapai usia 70 tahun dalam 1991 sehingga muncul perkiraan bahwa
perubahan di rezim orde baru hanya soal waktu. Namun tak ada yang berubah dalam
kebijakan pers karean lembaga SIUPP yang mengontrol pers dengan ketat tidak
dihapus.
Pers dimata negara memiliki peranan sebagai pendorong kesatuan nasional dan pembangunan sambil menrapkan system perijinan. Pemerintah juga tidak menjamin dengn tegas kebebasan pers di Indoensia, hal ini terbukti dengan kontrol ketat pemerintah dengan mendirikan dewan pers dan PWI, selain itu pemerintah juga ikut campur tangan dalam keredaksian.
Dalam pemerintahan Orde Baru ini setidaknya ada tiga macam cara yang digunakan wartawan untuk menghindari peringatan dan atau pembredeilan dari pemrintah, yakni eufimisme, jurnalisme rekaman dan jurnalisme amplop.
Teknik eufeumisme adalah teknik mengungkapkan fakta secara tersirat bukan tersurat. Penggunaan kata-kata ini adalah upaya meringankan akibat politik dari suatu pemberitaan. Fakta dalam sebuah berita berbahaya senantiasa ditup oleh pers dengan ungkapan yang sopan.
Jurnalisme rekaman adalah budaya wartawan untuk mentranskrip setepat-tepatnya apa yang dikatakan sumber berita dan tidak mengertikannya sendiri. Budaya ini tentu saja membuat wartwan Indonesia semakin malas.
Jurnalisme amplop adalah budaya pemberian amplop bagi wartawan oleh sumber berita. Meskipun pemberian ini dikecam dan berusah dihindari namun pada prakteknya tetap saja terjadi.
Pada masa orde baru ini juga diketemukan adanya monopoli media massa oleh keluraga para pejabat. Hal ini tentu saja membuat sudut pandang pemberitaan yang hampir sama dan sangat berhati-hati karena takut menyinggung pemilik saham.
Pada awal tahun 1990-an pemerintah mulai bersikap terbuka, begitupun dengan pers meskipun tetap harus bersikap hati-hati. Keterbukaan ini merupakan pengaruh dari perubahan situasi politik di Indonesia dan juga tuntutan pembaca kelas menengah yang jumlahnya semkain banyak di Indonesia.
Pada 21 Juni 1994 pemerintah Indonesia membredel tiga mingguan terkemuka yaitu Tempo, Editor dan Detik. Ada tiga teori tentang pembredelan tersebut yakni teori permusuhan Habibie-Tempo, dalam kasus ini Tempo memberitakan rencana produksi pesawat terbang dan pembelian bekas kapal perang yang mengkritik habibie, teori intrik politik yang berspekulasi bahwa ketiga penerbitan itu bekerjasama dengan Benni Moerani dan pengikutnya di ABRI untuk menjatuhkan dan menyingkirkan Habibie dan teori Intimiasi yang berspekulasi bahwa kepemimpinan nasional ingin memperlambat laju perubahan masyarakat dan media yang semkain bergerak menuju kebebasan yang lebih lebar. Pembredelan ini mengakibatkan terjadinya protes dan demo di kalangan wartawan Indonesia.Sebagai penyelesaian kasus pembredelan ini menteri penerangan mengeluarkan dua izin penerbitan baru untuk menampung wartawan yang kehilangan pekerjaannya.
Pers dimata negara memiliki peranan sebagai pendorong kesatuan nasional dan pembangunan sambil menrapkan system perijinan. Pemerintah juga tidak menjamin dengn tegas kebebasan pers di Indoensia, hal ini terbukti dengan kontrol ketat pemerintah dengan mendirikan dewan pers dan PWI, selain itu pemerintah juga ikut campur tangan dalam keredaksian.
Dalam pemerintahan Orde Baru ini setidaknya ada tiga macam cara yang digunakan wartawan untuk menghindari peringatan dan atau pembredeilan dari pemrintah, yakni eufimisme, jurnalisme rekaman dan jurnalisme amplop.
Teknik eufeumisme adalah teknik mengungkapkan fakta secara tersirat bukan tersurat. Penggunaan kata-kata ini adalah upaya meringankan akibat politik dari suatu pemberitaan. Fakta dalam sebuah berita berbahaya senantiasa ditup oleh pers dengan ungkapan yang sopan.
Jurnalisme rekaman adalah budaya wartawan untuk mentranskrip setepat-tepatnya apa yang dikatakan sumber berita dan tidak mengertikannya sendiri. Budaya ini tentu saja membuat wartwan Indonesia semakin malas.
Jurnalisme amplop adalah budaya pemberian amplop bagi wartawan oleh sumber berita. Meskipun pemberian ini dikecam dan berusah dihindari namun pada prakteknya tetap saja terjadi.
Pada masa orde baru ini juga diketemukan adanya monopoli media massa oleh keluraga para pejabat. Hal ini tentu saja membuat sudut pandang pemberitaan yang hampir sama dan sangat berhati-hati karena takut menyinggung pemilik saham.
Pada awal tahun 1990-an pemerintah mulai bersikap terbuka, begitupun dengan pers meskipun tetap harus bersikap hati-hati. Keterbukaan ini merupakan pengaruh dari perubahan situasi politik di Indonesia dan juga tuntutan pembaca kelas menengah yang jumlahnya semkain banyak di Indonesia.
Pada 21 Juni 1994 pemerintah Indonesia membredel tiga mingguan terkemuka yaitu Tempo, Editor dan Detik. Ada tiga teori tentang pembredelan tersebut yakni teori permusuhan Habibie-Tempo, dalam kasus ini Tempo memberitakan rencana produksi pesawat terbang dan pembelian bekas kapal perang yang mengkritik habibie, teori intrik politik yang berspekulasi bahwa ketiga penerbitan itu bekerjasama dengan Benni Moerani dan pengikutnya di ABRI untuk menjatuhkan dan menyingkirkan Habibie dan teori Intimiasi yang berspekulasi bahwa kepemimpinan nasional ingin memperlambat laju perubahan masyarakat dan media yang semkain bergerak menuju kebebasan yang lebih lebar. Pembredelan ini mengakibatkan terjadinya protes dan demo di kalangan wartawan Indonesia.Sebagai penyelesaian kasus pembredelan ini menteri penerangan mengeluarkan dua izin penerbitan baru untuk menampung wartawan yang kehilangan pekerjaannya.
9. Pers di masa pasca Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan
mulailah era reformasi. Tuntutan reformasi bergema ke semua sektor kehidupan,
termasuk sektor kehidupan pers. Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32
tahun di bawah rezim orde baru, pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa
ada di bawah bayang-bayang ancaman pencabutah surat izin terbit. Di awal
reformasi banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid
baru. Di Era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
pers. Hal ini disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa
kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).
Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2.
Pada masa reformasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2.
Pada masa reformasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
ü Memenuhi
hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.
ü Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong
terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati
kebhinekaan.
ü Mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang
tepat, akurat, dan benar.
ü Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
ü Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan
hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi
sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi.
Hal ini digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik atau
dimintai mnejadi saksi di pengadilan.
1 Comments:
Terima kasih, sangat bermanfaat informasinya. Namun sangat disayangkan tidak ada atau tidak dicantumkan sumber informasi diambil dari mana, saran saya untuk tulisan selanjutnya dilengkapi dengan sumber informasi tersebut
terima kasih