-->

Stratifikasi Sosial dan Hukum

advertise here


A. Stratifikasi Sosial dan Hukum

Stratifikasi sosial atau lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah perbedaan penduduk secara bertingkat-tingkat atau kelas-kelas sosial berdasarkan hirarkinya sehingga terlihat suatu batasan-batasan abstrak di antara tingkatan-tingkatan masyarakat tersebut. Sebagai sebuah contoh perbedaan antara sikaya dengan simiskin yang diantara mereka ada sebuah dinding pembatas yang abstrak. Stratifikasi ini timbul karena efek dari beberapa aspek sosial yang pendistribusiannya tidak merata, seperti pendidrtibusian sandang,pangan, dan papan. Stratifikasi ini juga didasari oleh kekayaan, kekuasaan, pengetahuan, dan kehormatan.

Adanya diskriminasi di dalam masyarakat yang disebabkan oleh pembedaan kelas sosial ini coba diatasi dengan hukum. Hukum menjanjikan adanya kesetaraan di hadapan hukum. Salah satu asas hukum adalah equality before the law yang artinya adalah kedudukan setiap orang adalah sama di hadapan hukum. Hukum tidak membedakan status, kedudukan, kasta, dan kelas sosial. Semua sama dihadapan hukum. Namun stratifikasi tetap saja muncul. Oleh karena itu, antara hukum dan relita sosial terjadi sebuah kesenjangan yang biasa disebut dengan legal gap. Terjadi perbedaan antara apa yang seharusnya terjadi menurut hukum dengan apa yang terjadi di dalam masyarakat.

Masyarakat merupakan struktur organisasi kehidupan bersama. Di dalam struktur, setiap orang memainkan perannya masing-masing. Suatu peran berhubungan dengan peran yang lain. Hal tersebutlah yang membuat stratifikasi sosial tetap ada walaupun hukum berusaha untuk menghilangkannya. Setiap peran mempunyai tugasnya masing-masing. Aktivitas kerja seseorang berkaitan dengan peran yang dimainkannya disebut denganOcupation. Keanekaragaman peran yang ada dalam masyarakat menimbulkan apresiasi yang berbeda terhadap pemegang peran. Ada profesi yang dianggap ada pada struktur lapisan atas seperti contohnya presiden, menteri, pengusaha, dosen, guru, dan profesi lain yang dipandang oleh masyarakat baik. Namun ada juga kelompok profesi yang menurut masyarakat dianggap berada pada struktur lapisan masyarakat tingkat bawah seperti tukang becak, kuli, dan profesi yang lain yang dianggap masyarakat kurang terpandang. Walaupun secara moral pekerjaan tersebut tidak tercela, namun tetap saja oleh masyarakat dipandang rendah.

Respect yang berbeda pada setiap kelompok membuat jenjang-jenjang atau tingkatan-tingkatan dalam masyarakat. Jenjang-jenjang ini menimbulkan stratum atau kelas-kelas sosial. Dalam masyarakat, dikatakan telah terjadi suatu pelapisan sosial. Pelapisan sosial dalam masyarakat ini pada akhirnya juga akan menimbulkan stratifikasi dalam hukum. Lapisan kelas atas masih dianggap sebagai personifukasi dari struktur. Maksudnya, lapisan ataslah yang menentukan mau dibawa kemana masyarakat yang ada. Lapisan atas jugalah yang menentukan hukum positif yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang ada berlaku top-down. Yang menentukan hukum adalah lapisan atas, kemudian baru diterapkan pada lapisan-lapisan dibawahnya. Peran lapisan-lapisan masyarakat dalam hukum adalah lapisan atas sebagai struktur, sedangkan lapisan bawah berfungsi sebagai alat struktur. Seperti teori yang dikemukakan oleh Marc Galanter bahwa the haves will always get out ahead (Soetandyo, 2008:185) Karena lapisan atas yang menentukan struktur, lapisan atas berusaha memasukkan kepentingan-kepentingannya sendiri ke dalam struktur yang dibuatnya. Hal inilah yang kemudian menimbulkan suatu pemerintahan tirani.

Hal yang terjadi kemudian adalah disfungsi hukum bagi masyarakat kalangan bawah. Hukum tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Seharusnya hukum tidak membeda-bedakan dan berlaku adil bagi semua kalangan. Namun hal tersebut tidak terjadi dalam struktur ini. Hukum tidak berpihak pada rakyat miskin. Keadaan ini membuat berlakunya diskriminasi hukum di dalam masyarakat. Bagi masyarakat lapisan atas, hukum terkesan amat menguntungkan. Hal ini disebabkan karena memang merekalah yang menentukan hukum. Bagi masyarakat lapisan bawah, dirasakan banyaknya ketidak adilan dalam hukum yang berlaku. Akibatnya, masyarakat strata bawah akan lebih cenderung untuk menyelesaikan perkara-perkara lewat caranya sendiri dari pada cara-cara formal menurut prosedur Hukum (Soetandyo, 2008: 189).

Adanya diskriminasi bagi masyarakat miskin membuat kalangan idealis dari kaum elite membuat sebuah konsep bantuan hukum bagi kalangan bawah. Bantuan hukum bagi masyarakat strata bawah terdapat dalam dua model. Dua model tersebut berbentuk bantuan secara konvensional dan bantuan secara structural. Para ahli hukum yang berprofesi sebagai pengacara mencoba membantu mengatasi persoalan kesenjangan kaya-miskin ini dengan cara memberikan bantuan hukun secara cuma-cuma kepada golongan miskin, apabila golongan miskin ini harus berperkara dan beracara di siding-sidang pengadilan. Bantuan ini desebut dengan legal aid. Menurut pendapat para ahli hukum yang peduli terhadap rakyat miskin tanpa bantun hukum yang serius dari pihak-pihak yang mengerti hukum modern, orang miskin akan terdiskriminasi oleh hukum. Bantuan hukum macam ini akan membantu kaum miskin untukdiperlakukan sama di hadapan hukum. Dengan bantuan hukum yang diberikan, kepercayaan kalangan miskin terhadap hukum tidak akan hilang. Bentuk inilah yang kemudian disebut dengan bantuan secara konvensional.

Menurut pandangan kaum kritisi, bantuan hukum yang terbatas pada bantuan hukum dalam persidangan saja belum cukup untuk melepaskan kaum miskin dari diskriminasi yang disebabkan oleh stratifikasi. Bantuan hukum juga dilakukan dengan memperjuangkan kaum miskin pada rancangan undang-undang yang akan diberlakukan. Pada bentuk bantuan ini, para ahli hukum akan berusaha agar hak-hak kaum miskin tidak terpinggirkan, Perjuangan semacam ini disebut dengan legal service. Bantuan model ini juga disebut dengan bantuan secara struktural. Pada dasarnya, kebijakan dalam bantuan hukum struktural ditempuh untuk merealisasikan apa yang disebut dengan kebijakan diskriminasi terbalik atau yang sering disebut juga kebijakan diskriminatif positif. Dikatakan demikian karena diskriminasi yang diputuskan untuk dilakukan itu demi hukum akan memberikan kesempatan dan hak yang lebih kepada mereka yang berada pada strata bawah dibanding dengan strata atas. Langkah-langkah legislatif untuk membuat undang-undang baru dilakukan dengan sadar untuk memajukan kepentingan sosial ekonomi mereka yang ada pada strata bawah. Hukum perundang-undangan yang dibuat atas dasar kebijakan seperti itu dikenal secara luas sebagai hukum perundang-undangan sosial. Contoh dari kebijakan sosial adalah kebijakan pajak yang diberlakukan secara progresif. Bagi kalangan atas, ia akan membayar pajak yang jumlahnya lebih besar. Pendapatan pajak dari kalangan strata atas tersebut pada akhirnya akan disalurkan kepada kaum yang berada pada strata bawah dengan cara pembagian subsidi dan penyediaan layanan umum. (Soetandyo, 2008:193).

Masyarakat dalam realitanya memiliki lapisan-lapisan di dalamnya. Terdapat masyarakat lapisan atas yang ditempati oleh orang-orang kaya dan terpandang dan masyarakat lapisan bawah yang ditempai masyarakat miskin. Hal tersebut tidak dapat dihilangkan. Hukum berusaha menghilangkan perbedaan ini dengan mengusung asas equality before the law yang artinya bahwa kedudukan setiap orang adalah sama di hadapan hukum tidak memandang kaya atau miskin. Namun pelapisan sosial tetap saja tidak dapat dihilangkan karena di dalam masyarakat terdapat peranan yang dimainkan masing-masing individu. Setiap peran yang dimainkan memiliki prestige yang berbeda. Ada peran yang dianggap oleh masyarakat baik, ada pula yang dianggap tidak baik.

Stratifikasi hukum ini pada akhirnya akan melahirkan sebuah stratifikasi hukum. Hal ini disebabkan karena ada asumsi yang mengatakan bahwa yang menentukan hukum yang berlaku adalah masyarkat kalangan atas. Masyarakat kalangan atas berusaha memasukkan kepentingannya pada aturan yang ditetapkan. Hal ini membuat kaum miskin semakin terpojok. Hal ini membuat kaum elite yang idealis berpikir bagaimana caranya untuk memberikan bantuan hukum bagi kalangan msikin. Bantuan diberikan dengan dua cara. Cara yang pertama melalui proses yuridis yaitu pendampingan hukum terhadap kasus yang menimpa kaum miskin atau biasa disebut dengan legal aid dan proses legislatif yang dilakukan dengan cara memperjuangkan hak-hak kaum miskin dalam pembuatan suatu undang-undang yang biasa disebut dengan legal service.

Stratifikasi sosial memang tidak dapat dihilangkan. Namun sebenarnya hal tersebut tidak perlu dihilangkan. Hal tersebut adalah sebuah dinamika dalam masyarakat. Stratifikasi dengan system yang terbuka akan menimbulkan sebuah persaingan yang sehat. Kaum strata atas akan berusaha meraih strata atas, sedangkan masyarakat strata atas akan mempertahankan kedudukannya.

Hal yang harus dihilangkan adalah diskriminasi dalam hukum. Tidak seharusnya hukum hanya dibuat oleh kaum strata atas saja. Hukum menyangkut kehidupan setiap orang. Tidak peduli dari strata atas atau bawah. Oleh kerena itu, hukum seharusnya dibuat secara bersama-sama untuk kebaikan bersama. Semua kalangan harus dilibatkan dalam sebuah perumusan hukum agar hukum dapat diterima semua pihak.


B. Hukum dan Gejala Sosial

Soejono soekanto mengunggkapkan bahwa rule of the law berarti persamaan di hapadapan hukum, yaitu setiap warga negara harus tunduk kepada hukum. Demikian pengertian yang dapat dipahamai dari suatu negara hukum. Namun demikian, terdapat kecendrungan keterkaitan antara hukum dan gejala sosial, dalam hal ini stratifikasi sosial yang terdapat di tengah-tengah masyarakat. Tujuan kajiannya adalah untuk mengidentifikasi fakta, yang mungkin ada manfaatnya dalam pelaksanaan penegakan hukum yang saat ini banyak dipersoalkan oleh masyarakat di indonesia.

C. Fungsi Hukum

Sebelum mengkaji fungsi Hukum sebagai gejala sosial kita dapat memperhatikan bagaimana para ahli Hukum menyatakan pendapatnya mengenai fungsi dari Hukum itu sendiri:

Van aveldorn berpendapat fungsi Hukum itu ialah Mengatur pergaulan dengan melindungi kepentingan-kepentingan hukum manusia tertentu  (kehormatan, kemerdekaan jiwa,harta benda) dari pihak yang merugikan.

Sedangkan menurut Prof. Subekti  Hukum itu mengabdi pada tujuan Negara, yang mendapatkan atau ingin mencapai kemakmuran dan kebahagian pada rakyatnya.
Bentham (teori utilitirianisme) fungsi hukum adalah semata-mata untuk mewujudkan apa yang berfaedah bagi banyak orang. Dengan kata lain, “Menjamin kebahagian sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang”.

Didasari dari pendapat ke tiganya kita sebenarnya dapat mengetahui Fungsi Hukum yaitu hukum memiliki fungsi mengatur, melindungi, mencapai kemakmuran, kebahagiaan, dan memberikan faedah atau manfaat bagi masyarakat, bila dihubungkan dengan gejala sosial maka fungsi dari Hukum itu sendiri yaitu mengatur gejala serta tingkahlaku sosial agar tercapai perlindungan dalam interaksi sosial, melindungi interaksi sosial, mendapatkan kemakmuran, kebahagiaan , serta mendapatkan manfaat.

Mengutip dari Bukunya Pipin Syaripin SH.MH. pada halaman 51 beliau mengungkapkan  ada 4 Fungsi Hukum:

I. Sebagai alat ketertiban masyarakat
II. Sarana mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin
III. Sarana penggerak pembangunan
IV. Melakukan pengawasan terhadap aparatur penegak hukum
 Apabila kita menelaah terhadap bukunya Prof.DR. Soerjono Soekanto. SH.MA
Dalam bukunya pokok sociology Hukum Beliau menyatakan fungsi Hukum
I. Sebagai sarana pengubah Masyarakat
II. Sebagai sarana pengatur perilaku

  Hukum sebagai sarana pengubah Masyarkat dapat diartikan Hukum dipergunakan sebagai alat oleh suatu agent of change, dalam artian agent tersebut mengubah system sosial sehingga menjadi merubah masyarakat, masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern.

Hukum sebagai sarana pengatur perilaku dalam artian dengan adanya Hukum perilaku masyarakat menjadi berubah, yang awalnya bebas menjadi lebih teratur sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh Hukum itu sendiri.

Click to comment